SELAMAT DATANG !

Sukses Buat Kita!!

Jumat, 06 Januari 2012

STUDI KEBIJAKAN SINKRONISASI PENGENDALIAN BANJIR DAN KEKERINGAN

Oleh: Anonim

BAB I PENDAHULUAN

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025 pembangunan sumberdaya air diarahkan untuk menjaga keberlanjutan daya dukung sumber daya air dengan menjaga kelestarian fungsi daerah tangkapan air (catchment area) dan keberadaan air tanah; mewujudkan keseimbangan antara pasokan dan kebutuhan melalui pendekatan demand management yang ditujukan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi penggunaan dan konsumsi air dan pendekatan supply management yang ditujukan untuk meningkatan kapasitas dan realibilitas pasokan air serta memperkokoh kelembagaan sumber daya air untuk meningkatkan keterpaduan dan kualitas pelayanan terhadap masyarakat.

Pengelolaan sumberdaya air perlu dilakukan secara terpadu untuk meningkatkan koordinasi dan sinergitas dalam upaya konservasi, pendayagunaan, dan pengendalian daya rusak air serta memberikan pelayanan prima bagi masyarakat dalam memenuhi semua kebutuhan air secara tepat waktu, ruang, jumlah, dan mutu secara berkesinambungan. Dalam rangka pengelolaan sumberdaya air, permasalahan yang sering muncul saat ini adalah terjadinya kelebihan air pada musim hujan yang berakibat terjadinya banjir, dan kekurangan air (kekeringan) dimusim kemarau yang keduanya mengakibatkan terganggunya keberlangsungan kehidupan serta s ecara lebih luas pada kegiatan perekonomian.

Kegagalan di sektor pertanian secara nasional cenderung meningkat dari tahun 1993 – 2004 dengan luas sawah terkena dampak banjir paling tinggi pada tahun 2004/2005, yaitu sekitar 300.000 ha dengan prakiraan kehilangan produksi padi mencapai sekitar 1.350.000 ton Gabah Kering Giling (GKG), Puso sekitar 240.000 ha dengan kehilangan produksi sekitar 340.000 ton GKG. Demikian pula, luas sawah yang terkena dampak kekeringan sekitar 250.000 ha dengan prakiraan kehilangan produksi padi sekitar 2.500.000 ton GKG pada tahun 2003/2004.

Meskipun demikian, pemerintah telah melakukan upaya pengelolaan banjir dan kekeringan baik secara struktural maupun non struktural namun masih banyak yang bersifat sektoral dan ego regional. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu dilakukan kajian sinkronisasi kebijakan terkait pengendalian banjir dan kekeringan, baik antar sektor maupun antar wilayah baik pemerintah pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota.

Maksud dari studi ini adalah untuk mendapatkan gambaran keterkaitan secara menyeluruh tentang kebijakan-kebijakan terkait pengendalian banjir dan kekeringan yang sudah ada, dan permasalahan yang dihadapi dalam implementasi kebijakan-kebijakan tersebut. Sedangkan tujuan dari studi ini untuk mendapatkan rumusan rekomendasi sehubungan dengan kebijakankebijakan terkait pengendalian banjir dan kekeringan sebagai bahan untuk meningkatkan efektifitas implementasi kebijakan-kebijakan tersebut atau bahkan menyusun kebijakankebijakan terkait pengendalian banjir dan kekeringan dalam upaya peningkatan efektifitas kegiatan pengendalian banjir dan kekeringan ke depan. Hasil yang diharapkan dalam kajian ini dapat memberikan rekomendasi kebijakan terkait pengendalian banjir dan kekeringan.

PENDEKATAN DAN METODOLOGI

Kerangka pemikiran yang mendasari kegiatan Studi Kebijakan Sinkronisasi Pengendalian Banjir dan Kekeringan adalah sebagai berikut:



Dalam kajian ini, pendekatan yang digunakan dalam kajian ini adalah gabungan pendekatan ilmiah akademis (academical science) dan pendekatan pragmatis empiris (empirical pragmatically).

Metodologi yang digunakan meliputi: penetapan lokasi kajian, pengumpulan data, pengolahan data, dan analisis data. Lokasi kajian ditetapkan di Daerah Aliran Sungai ( DAS) Bengawan Solo karena merupakan DAS terbesar di pulau Jawa yang melintasi dua Provinsi (Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur) selain itu juga merupakan satuan wilayah sungai yang sangat kompleks dengan berbagai permasalahan, baik dalam pengaturan pembagian air untuk berbagai kepentingan maupun dampak yang sangat besar yang diakibatkan oleh banjir berupa kerusakan fisik, sosial dan perekonomian di wilayah tersebut.

Pengumpulan data dilakukan untuk mendapatkan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan kunjungan langsung ke lapangan dan dikumpulkan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif melalui berbagai teknik antara lain wawancara, observasi dan Focus Group Discussion (FGD). Sedangkan untuk data sekunder diperoleh dari instansi-instansi terkait baik di tingkat Pusat, Provinsi maupun Kabupaten/Kota.

Pengolahan data dilakukan secara autoregressive dan mixed planning, yaitu memadukan antara informasi yang didapatkan dari instansi terkait, hasil pengamatan di lapangan dengan konsep penyebab banjir dan kekeringan serta cara pengendaliannya, sehingga diharapkan dapat memberikan hasil pengembangan dan penelusuran berbagai informasi secara aplikatif dalam perumusan rekomendasi sehubungan kebijakan-kebijakan terkait pengendalian banjir dan kekeringan.

Secara umum metode analisis data yang digunakan adalah metode analisis deskriptif (deskriptive analysis), yaitu mendeskripsikan data yang diperoleh dari instansi terkait dan hasil pengamatan di lapangan secara jelas dan komprehensif untuk menggambarkan kondisi di lapangan dan kebijakan yang ada. Hasil analisis data disajikan secara detail berupa tabel, gambar, dan matriks yang menunjukkan hasil review dan evaluasi keterkaitan antar kebijakan pengendalian banjir dan kekeringan yang kemudian akan menghasilkan rekomendasi sehubungan dengan sinkronisasi kebijakan-kebijakan tersebut.

BAB II. GAMBARAN UMUM DAS BENGAWAN SOLO

DAS Bengawan Solo secara keseluruhan luasnya sekitar 1.873.452 hektar dengan rincian: 742.034,01 Ha di daerah hulu, 670.564,31 Ha di daerah tengah, dan 400.507,23 Ha di daerah Hilir. Panjang sungai utama berkisar 527 km (BPDAS Solo, 2007). DAS Bengawan Solo melintasi 19 kabupaten/kota dengan jumlah penduduk 16.462.997 jiwa yang meliputi dua provinsi yakni Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Kondisi Iklim DAS Bengawan Solo termasuk daerah beriklim tropis dengan suhu rata-rata bulanan di atas 27,40C, kelembaban rata-rata sekitar 65%. Curah hujan rata-rata 2.165 mm/tahun dengan curah hujan rata-rata bulanan 242,3 mm.

DAS Bengawan Solo merupakan DAS yang sangat kompleks permasalahannya. Banjir terjadi hampir di seluruh daerah di DAS Bengawan Solo baik di hulu, tengah maupun hilr


Gambar 2.1 Wilayah Kerja DAS Bengawan Solo


Berbagai permasalahan aktual di wilayah DAS Bengawan Solo, yang di duga sebagai penyebab utama kerusakan lingkungan dan penyebab terjadinya banjir dan kekeringan yang berkepanjangan adalah :
Aktivitas penggunaan lahan di bagian hulu kebanyakan tidak sesuai lagi peruntukannya berdasarkan kemiringan lereng. Penyebab utama adalah deforestasi dan perubahan tata guna lahan akibat aktivitas pertanian dan pemabalakan liar. Perubahan tata guna lahan dan deforestasi di DAS Bengawan Solo ditunjukkan pada Gambar 2.2



Gambar 2.2 Perubahan tata guna lahan dan deforestasi di DAS Bengawan Solo
Bangunan penahan longsor yang kurang memadai menyebabkan sering terjadi longsor, terutama pada lereng-lereng yang curam, stabilitas tanah rendah dengan intensitas hujan yang tinggi.
Pesatnya perkembangan budidaya pertanian yang tidak mengindahkan kaidah konservasi, serta semakin padatnya penduduk yang diikuti dengan perkembangan permukiman dan aktivitas ekonomi lainnya seperti industri dan pertambangan menyebabkan rusaknya lingkungan pada bagian tengah DAS Bengawan Solo.Disamping itu, juga akibat tidak terpeliharanya sempadan-sempadan sungai, serta fungsi retensi hutan semakin menurun baik yang ada di bagian hulu maupun bagian tengah DAS.

BAB III PEMETAAN KEBIJAAN PENGENDALIAN BANJIR DAN KEKERINGAN

Pemetaan kebijakan dilakukan dengan menginventarisasi dan menidentifikasi semua kebijakan terkait pengendalian banjir dan kekeringan mulai dari Undang-undang sampai pada peraturan pelaksanaannya di daerah. Tujuan pemetaan adalah untuk mengetahui mengetahui rumusan secara substansi, batas wilayah kewenangan, obyek/sasaran suatu kebijakan yang terkait dengan pengendalian banjir dan kekeringan

Dari hasil inventarisasi dan identifikasi beberapa kebijakan terkait banjir dan kekeringan adalah:

Kebijakan berupa Undang – Undang:
UU No. 26/2007 Tentang Penataan Ruang
UU No. 24/2007 Tentang Penanggulangan Bencana
UU No. 19/2004 Tentang Kehutanan
UU No. 7/ 2004 Tentang Sumber Daya Air
UU No. 23/1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
UU No. 5/1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya

Kebijakan berupa Peraturan Pemerintah :
PP No. 42/2008 Tentang Pengelolaan Sumber Daya Air
PP No. 26/2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
PP No. 22/2008 Tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana
PP No. 21/2008 Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana
PP No. 6/2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta

Pemanfaatan Hutan
PP No. 45/2004 Tentang Perlindungan Hutan
PP No. 44/2004 Tentang Perencanaan Kehutanan
PP No. 16/2004 Tentang Penatagunaan Tanah
PP No. 63/2002 Tentang Hutan Kota
PP No 4/2001 Tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan
PP No. 27/1999 Tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup
PP No. 68/1998 Tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam
PP No. 35/1991 Tentang Sungai
PP No. 22/1982 Tentang Tata Pengaturan Air

Kebijakan berupa Peraturan Presiden dan Keputusan Presiden :
Perpres No. 12/2008 Tentang Dewan Sumber Daya Air
Perpres No. 89/2007 Tentang Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan
Keppres No. 83/2002 Tentang Perubahan atas Keppres No. 123/2001 Tentang Tim

Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air
Keppres N0.63/2000 Tentang Badan Kebijaksanaan dan Pengendalian Pembangunan Perumahan dan Pemukiman Nasional
Keppres No. 9/1999 Tentang Pembentukan Tim Koordinasi Kebijaksanaan Pendayagunaan Sungai dan Pemeliharaan Kelestarian DAS
Keppres No. 32/1990 Tentang Pengelolaan Kawasan Lindung

Kebijakan berupa Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri dari beberapa Departemen:

Departemen Pekerjaan Umum:
Permen PU No. 04/PRT/M/2008 Tentang Pedoman Pembentukan Wadah Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air pada Tingkat Provinsi. Kabupaten/Kota, dan Wilayah Sungai.
Permen PU No. 11a/PRT/M/2006 Tentang Kriteria dan Penetapan Wilayah Sungai.
Permen PU No. 63/PRT/1993 Tentang Garis Sempadan Sungai, Daerah dan Manfaat Sungai, Daerah Penguasaan Sungai dan Bekas Sungai.
Kepmen Permukiman dan Prasarana Wilayah No. 342/KPTS/M/2002 Tentang Pelimpahan Pemberian Kewenangan Pemberian Izin Penggunaan Air dan atau Pemanfaatan sumber-sumber air di wilayah Sungai Bengawan Solo Kepada Gubernur Jawa Tengah dan Jawa Timur

Departemen Kehutanan :
Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 26/Menhut-II/2006 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Terpadu.
Kesepakatan Bersama antara Menteri Kehutanan dengan Menteri PU dengan Menteri Pertanian No. PKS 10/Menhut.V/2007; No. 06/PKS/M/2007; No. 100/TU.210/M/5/2007 Tentang Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS) Kiritis untuk Konservasi Sumber Daya Lahan dan Air.
Keputusan Menteri Kehutanan No. SK. 346/Menhut-V/2005 Tentang Kriteria Penetapan Urutan Prioritas Daerah Aliran Sungai.
Keputusan Menteri Kehutanan No. 52/Kpts-II/2001 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.
Keputusan Menhut No. 20/Kpts-II/2001 Tentang Pola Umum dan Standar serta Kriteria Rehabilitasi Hutan dan Lahan.

Departemen Dalam Negeri :
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1/2007 Tentang Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan.

K/L Non Departemen :
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 4/2000. Panduan Penyusunan AMDAL Kegiatan Pembangunan Kegiatan Terpadu.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 3/2000 Tentang Jenis Usaha dan atau Kegiatan yang Wajib Dilengkapi AMDAL.

Peraturan Pemerintah Daerah

Tingkat Provinsi :
Perda JATENG No. 5/2007 Tentang Pengendalian Lingkungan Hidup Prov. Jateng;
Perda JATENG No 22/2003 Tentang Pengelolaan Kawasan Lindung di Prov. Jateng;
Perda JATENG No 21/2003 Tentang RTRW Provinsi Jawa Tengah;
Perda JATIM No. 2/2008 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air di Provinsi Jawa Timur;
Perda JATIM No. 12/2007 Tentang Rehabilitasi Hutan dan Lahan Kritis di Provinsi Jawa Timur ;
Perda JATIM No. 10/2007 Tentang Perizinan Pengambilan dan Pemanfaatan Air Permukaan di Jawa Timur;
Perda JATIM No. 2/2006 Tentang RTRW Provinsi Jatim;
Perda JATIM No. 6/2005 Tentang Penertiban dan Pengendalian Hutan Produksi di Provinsi Jawa Timur.

Tingkat Kabupaten :
Keputusan Bupati Wonogiri No. 393/2007 Tentang Perubahan Kedua atas Lampiran Keputusan Bupati Wonogiri No 28/2007 Tentang Pembentukan Tim Gerakan Nasional Kemitraan penyelamatan Air (GN-KPA) Kabupaten Wonogiri.
Keputusan Bupati Wonogiri No 338/2001 Tentang Pembentukan Satuan Tugas Pengamanan Hutan di Kabupaten Wonogiri.
Instruksi Bupati Wonogiri No. 522.5/01/193/1999 Tentang Larangan Penebangan Pohon di Kawasan Green Belt, Waduk Serbaguna Wonogiri, Hutan Rakyat dan Turus Jalan di Kabupaten Wonogiri.
Instruksi Bupati Wonogiri No. 376/1999 Tentang Penundaan Penebangan Hutan Negara di Wilayah Kabupaten Wonogiri.
Instruksi Bupati Wonogiri No. 338/2001 Tentang Pembentukan Satuan Tugas Pengamanan Hutan di Kabupaten Wonogiri.
Surat Edaran Bupati Wonogiri No 522.4/567 Tahun 2006 dan No. 522.4/1891 Tahun 2007 Tentang Pengendalian Penebangan dan Peredaran Kayu Rakyat.

BAB IV ANALISIS KEBIJAKAN PENGENDALIAN BANJIR DAN KEKERINGAN

4.1. EVALUASI KEBIJAKAN PENGENDALIAN BANJIR DAN KEKERINGAN

Evaluasi mengenai kebijakan publik dan evaluasi kebijakan publik menurut Schusman, Winarno & Dunn, 2003 Dan Nugroho 2006, dapat disajikan secara ringkas dalam bentuk skema sebagaimana Gambar 1 berikut ini. Intinya adalah bahwa lingkup evaluasi kebijakan publik itu, harus dilakukan dari:

a. aspek perumusan kebijakan.
b. aspek lingkungan kebijakan.
c. aspek implementasi kebijakan.


Gambar 1. Lingkup Evaluasi Kebijakan (menurut Schusman & Winarno, Dunn 2003 & Nugroho, 2006)

Kebijakan publik yang dipakai sebagai acuan pembangunan adalah Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025, yang ditetapkan sebagai UU no 17 tahun 2007, dan dirinci secara bertahap melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPPJMN 5 tahunan). RPJMN ini kemudian secara strategik dilaksanakan melalui Kebijakan Strategik Tahunan yang disusun per sektoral.

Berdasarkan RPJPN 2005-2025, permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan Sarana dan Prasarana Sumber Daya Air (SDA) meliputi pola pengelolaan SDA tidak efisien, penampungan untuk DMII (domestik, municipal, industri, irigasi) hanya 10% kebutuhan, degradasi Prasarana Irigasi, degradasi lingkungan SDA, air permukaan menurun saat kemarau dan banjir saat hujan, air tanah menurun, prasarana & sarana pengendali daya rusak kurang imbang dengan laju kerusakan DAS, konversi lahan pertanian dan kehutanan yang tidak terkendali, koordinasi antar instansi lemah, peran serta masyarakat belum memadai, Kualitas prasarana dan sarana memprihatinkan serta kurang mengacu kepada pengaturan tata ruang. Arah Pembangunan Prasarana dan Sarana Sumber Daya Air ditujukan untuk keseimbangan social goods dan economic goods; pengelolaan yang terpadu, efektif, efisien, berkeadilan, berkelanjutan, menjamin kebutuhan pokok dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat; pengelolaan demand dan supply air dengan pendekatan demand management dan keandalan pasokan air; kemitraan dengan dunia usaha tanpa membebani masyarakat; penguatan lembaga masyarakat; keterpaduan penggunaan air tanah-air permukaan dengan menjaga keberlanjutan fungsi alam; pengendalian daya rusak melalui pendekatan non konstruksi yaitu dengan konservasi SDA dan keterpaduan pengelolaan DAS, serta peningkatan peran serta masyarakat pada saat bencana dan pasca bencana.


Gambar 2. Menyiasati Daur Hidrologi

Permasalahan banjir dan kekeringan yang terjadi (dalam hal ini di Bengawan Solo) pada umumnya disebabkan oleh tidak optimumnya fungsi daerah tangkapan hujan/DAS dalam menyerap air hujan, dan mengimbuh air tanah yang adalah aliran sungai saat musim kemarau. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya untuk memperbaiki siklus hidrologi salah satunya dengan penghutanan kembali.

Program-program utama di DAS harus mengacu kepada Tata Ruang Nasional, Tata Ruang Provinsi dan Tata Ruang kabupaten terkait, yakni antara lain:
Dalam rangka pelestarian lingkungan dalam rencana tata ruang wilayah ditetapkan kawasan hutan paling sedikit 30% dari luas DAS.
pembuatan cek dam di alur renik/alur sungai kecil di DAS.
pembangunan pertanian: pengelolaan lahan dan air melalui pertanian berteras (teras, teras bangku, torak, guludan dsb) di DAS.
Pengelolaan SDA terpadu untuk sub DAS penghutanan kembali, air minum, sanitasi, pemberian sepasang sapi/desa untuk nutrisi- pupuk organik-peningkatan pendapatn, jalan desa, dengan peran masyarakat, diramu secara total untuk mensejahterakan masyarakat pedesaan terkait. (contoh: sub DAS Girindulu-Pacitan JATIM; sub DAS Poh Bambu- Luk Ulo JATENG):

Selain dari sisi tata ruang, dalam rangka pengendalian banjir dan kekeringan perlu dilakukan program-program operasional untuk perbaikan atau peningkatan bangunan pengendali sungai/aliran yang antara lain meliputi pengerukan alur, pembuatan tanggul, perkuatan tebing, pengarah aliran, pembuatan waduk untuk pengendali banjir dan kekeringan, serta bangunan dan alur pengalih aliran. Sedangkan untuk daerah permukiman dan pertanian program yang dapat dilakukan dalam rangka pengendalian banjir antara lain: OP dan peningkatan jaringan drainase, sistem polder di daerah rendah, sumur resapan, sumur biopori, embung, halaman/tempat parkir resapan dan Jalur/Ruang Hijau serta masih banyak program lainnya. Disamping itu pembangunan kelembagaan untuk menghadapi saat banjir atau kekeringan dan memperbaiki akibat banjir dan kekeringan,yang sesuai dengan amanat Kebijakan RPJP harus dilakukan melalui peran-serta masyarakat. Agar mereka bisa ikut berperan mencegah banjir, menghadapi saat banjir dan memperbaiki segala yang rusak akibat banjir.

4.2. ANALISA KETERKAITAN KEBIJAKAN PENGENDALIAN BANJIR DAN KEKERINGAN

Dari hasil pemetaan, terlihat bahwa setiap kebijakan yang terkait pengendalian banjir dan kekeringan (Undang-Undang beserta peraturan turunannya) telah mengamanatkan upayaupaya dalam rangka pengendalian banjir dan kekeringan. Setiap kebijakan mempunyai tujuan dan wilayah kewenangan yang berbeda namun pada semuanya bertujuan dalam pengendalian banjir dan kekeringan.

Kebijakan Tata Ruang mengamanatkan tentang pemanfaatan ruang dalam hal ini pembagian zonasi meliputi zonasi kawasan sumberdaya air, zonasi penyangga(zonasi kawasan hutan), zonasi resapan air dan zonasi lainnya serta mengatur pengawasan dari ruang tersebut. Kebijakan tata ruang mempunyai wilayah kewenangan seluruh wilayah nasional untuk Rencana Tata Ruang Nasional, wilayah kewenangan propinsi untuk Rencana Tata Ruang Provinsi terkait serta wilayah Kabupaten/Kota untuk Rencana Tata ruang Kabupaten/Kota.

Masalah Sumber Daya Air yang tertuang dalam UU Sumber Daya Air beserta peraturan turunannya mengatur mengenai konservasi, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air. Wilayah kewenangan mencakup wilayah/zonasi sumber daya air (sungai dan cekungan air tanah) dan daerah penyangga dalam hal ini dapat berupa hutan. Kebijakan kehutanan mengatur mengenai perlindungan hutan serta pengembalian fungsi hutan yang rusak. Dengan wilayah kewenangan terkait pengendalian banjir dan kekeringan berupa wilayah/zonasi penyangga sumberdaya air yang berupahutan.

Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur mengenai pengelolaan lingkungan hidup serta pengendalian terhadap kerusakan lingkungan hidup yang terdapat di seluruh wilayah sumber daya air, wilayah penyangga (hutan), daerah resapan air diluar daerah hutan dan daerah lainya yang bersangkutan dengan sumberdaya air.

Kebijakan Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya (yang diatur UU No 5/1990 dan peraturan dibawahnya) mengatur mengenai perlindungan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang berada pada wilayah kewenangan berupa hutan lindung dan suaka alam. Apabila dilihat secara lintas sektor secara umum, amanat dari setiap kebijakan terkait pengendalian banjir dan kekeringan berjalan saling mendukung, hanya saja koordinasi antar bidang belum optimal sehingga implementasi dari kebijakan-kebijakan tersebut belum berjalan dengan baik selain itu juga didukung oleh randahnya kesadaran masyarakat dan penegakan hukum yang lemah.

Keterkaitan secara hirarkial antar kebijakan dalam suatu bidang masih terdapat ketidak cocokan, terlihat bahwa berbagai kebijakan memiliki wilayah kewenangan yang belum jelas, atau aturan tentang pembagian kewenangan belum diatur secara jelas, seperti misalnya dalam UU Kehutanan disebutkan bahwa pemerintah pusat berhak mengelola hutan negara, sementara di sisi lain dalam UU otonomi daerah disebutkan bahwa daerah berhak mengelola sumberdaya alamnya 80% termasuk wilayah hutan. Selain itu, wilayah zonasi kawasan lindung yang diatur dalam tata ruang antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten sering tidak sinkron.

Hasil analisis keterkaitan kebijakan secara hirarkial dapat terlihat dalam tabel berikut:



Berdasarkan hasil analisi kebijakan terkait pengendalian banjir dan kekeringan maka dalam penanganan permasalahan banjir dan kekeringan harus secara komprehensif dan terpadu baik lintas sector (lembaga/kementerian) maupun lintas wilayah (Provinsi, Kabupaten/Kota). Bagan pengendalian banjir dan kekeringan secara komprehensif dapat terlihat dalam gambar berikut.

Berdasarkan skema pengendalian banjir dan kekeringan secara komprehensif pada Gambar 3 menunjukkan bahwa pengendalian banjir dan kekeringan terdiri dari struktural dan non struktural masing-masing sebagai berikut :

1. Secara struktural terdiri dari 4 bagian:
Revitalisasi penampungan dan resapan air: pembangunan dan Normalisasi waduk, bendung, sumur resapan dan embung
Revitalisasi sungai: Bangunan tebing/tanggul sungai, pengerukan sungai, drainase, pelebaran sungai dan bronjong
Bangunan penahan longsor, banjir dan erosi: Cek Dam, SABO Dam, bangunan penahan dan pengendali air. Ke tiga hal tersebut berada di bawah tanggung jawab Departemen PU, sedangkan sumur resapan, embung dan sistem drainase tanggung jawab Daerah Dinas PU (Provinsi, Kabupaten/Kota).
Rehabilitasi lahan kritis dan hutan: Rehabilitasi, konservasi lahan dan hutan, Rehabilitasi sempadan sungai & daerah tangkapan air, dan Sistem Teras yang pro konservasi di bawah tanggunjawab Departemen Kehutanan di tinkat Pusat, Dinas Kehutanan di tingkat Daerah (Provinsi, Kabupaten/Kota).

2. Pengendalian banjir dan kekeringan secara non struktural terdiri dari:
Regulasi terkait pengendalian banjir dan kekeringan: Regulasi Tata Ruang Nasional (RTRWN) tanggung jawab Pemerintah Pusat, RTRW Provinsi tanggung jawab PEMDA Provinsi, RTRW Kabuapten/Kota tanggung jawab PEMDA Kabupaten/Kota; Regulasi Sumberdaya air dan regulasi Kehutanan, Regulasi Pengelolaan Lingkungan Hidup, Regulasi Konservasi Sumberdaya Alam Hayati, dan Regulasi Penanggulangan Bencana, masing-masing berturut-turut: ditingkat Pusat tanggung jawab Departemen PU, dan Departemen Kehutanan, KLH, Badan Koordinasi Penannggulangan Bencana Nasional, di tingkat Provinsi tanggung jawab PEMDA Provinsi dan di tingkat Kabuapaten/Kota tannggung jawab Pemda Kabupaten/Kota.
Pemberdayaan masyarakat terdiri dari: Sosialiasi Regulasi terkait pengendalian banjir dan kekeringan, Peningkatan peran masyarakat sebagai pengguna dan pelindung sumberdaya air, Pelatihan terkait penanggulangan bencanan kepada masyarakat, Pengembangan ketrampilan masyarakat dan Penyediaan lapangan kerja dan pengembangan ekonomi masyarakat adalah merupakan tanggung Pemerintah Pusat dan Daerah.
Penguatan institusi (sistem) pengendalian banjir dan kekeringan terdiri dari: Pengembangan sumberdaya manusia institusi pemerintah terkait pengendalian banjir dan kekeringan, Koordinasi dan kolabarasi antar departemen, antar pemerintah pusat dan daerah, dan antar daerah, Pengembangan sistem informasi terkait pengendalian banjir dan kekeringan adalah merupakan tanggung jawab litas sektoral antara Departemen terkait di tingkat Pusat dan Dinas terkait di tingkat Provinsi dan di tingkat Kabuapaten/Kota.

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

5.1. KESIMPULAN
1. Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005 -2025 dan RPJM 2004-2009 telah mengamanatkan tentang pentingnya pengendalian banjir dan kekeringan, dimana arah kebijakan sumber daya air ke depan lebih diutamakan kepada upaya konservasi daerah aliran sungai (DAS) yang berbasis pada penataan ruang sehingga lebih menjamin keseimbangan kebutuhan air jangka pendek dan jangka panjang.
Penanganan permasalahan banjir dan kekeringan harus secara komprehensif dan terpadu yang menyangkut aspek struktural dan aspek non-struktural, baik secara lintas sektor (kementerian/lembaga) maupun secara lintas wilayah (provinsi, kabupaten/kota).
Belum semua peraturan perundangan yang terkait banjir dan kekeringan ada pada tingkat pusat, telah ditindak-lanjuti dengan peraturan pelaksanaannya untuk pedoman bagi pemerintah provinsi, kabupaten/kota.
Hasil Focus Group Discussion (FGD) di daerah mengindikasikan bahwa pembagian tugas dan tanggung-jawab sektor untuk pengendalian banjir dan kekeringan sudah jelas, namun sinkronisasi program dengan indikator pencapaian sasaran secara terpadu belum dilakukan. Demikian halnya dengan pengawasan, pemantauan, dan evaluasi kegiatan, masih dilaksanakan secara sektoral.
Partisipasi masyarakat dalam pengendalian banjir dan kekeringan masih sangat terbatas, baik pada aspek struktural maupun aspek non-struktural. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan informasi uyang diperoleh dan pengetahuan masyarakat pada umumnya, terutama menyangkut aspek hukum.

5.2. REKOMENDASI:
Sejalan dengan kebijakan bidang sumber daya air yang lebih mengutamakan aspek konservasi DAS untuk menjaga kelestarian dan keseimbangan air pada masa kini dan masa mendatang, maka program konservasi lahan dan air perlu lebih ditingkatkan alokasi anggarannya oleh pemerintah dan pemerintah daerah disamping alokasi anggaran untuk aspek struktural dan aspek non-struktural lainnya.
Selain itu, pemerintah dan pemerintah daerah juga harus lebih mendorong dunia usaha, BUMN/BUMD dalam upaya konservasi lahan dan air secara lebih sistematis dan terpadu dengan program pemerintah dan pemerintah daerah.
Sosialisasi secara intensif dan sistematis kepada masyarakat tentang peran serta yang dapat dilakukan dalam pengendalian banjir dan kekeringan, khususnya menyangkut aspek non-struktural, sangat penting dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Diharapkan dengan upaya ini, masyarakat akan berpartisipasi dalam program konservasi, baik secara perorangan/keluarga (sumur resapan, biopori) maupun secara kelompok yang lebih terorganisasi. Demikian pula halnya dalam menghadapi bencana banjir dan kekeringan, masyarakat akan lebih mengetahui tentang SOP (Standard Operating Procedure) yang ditetapkan oleh pemerintah, baik pada tahap pra-bencana; saat tanggap darurat; maupun pada tahap pasca-bencana.
Koordinasi program dan sinkronisasi pelaksanaan program pengendalian banjir dankekeringan secara lintas sektor dan lintas wilayah perlu dilakukan sehingga dapat diukur efektifitas pencapaian sasaran program yang telah ditetapkan bersama, baik output (keluaran) maupun pencapaian outcome (hasilnya).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar