SELAMAT DATANG !

Sukses Buat Kita!!

Rabu, 11 Januari 2012

BANJIR - BANGUNAN AIR

BANJIR - BANGUNAN AIR

Banjir sudah bukan persoalan remeh lagi. Besar dan intensitasnya sudah tidak bisa diprediksikan lagi. Menyebut banjir sebagai fenomena ulangan setiap lima atau tiga tahunan mungkin sudah tidak tepat lagi.
Sekarang banjir bisa terjadi kapan saja dan di mana-mana. Mengapa teknologi keairan dan pengairan sudah tidak lagi bisa mengatasi persoalan banjir di sebagian besar wilayah Indonesia?
Jawaban atas pertanyaan ini diharapkan penulis bisa menjelaskan tentang fenomena banjir dan rumitnya proses pendisainan bangunan-bangunan air guna menanggulangi banjir tersebut.

Laporan PBB dan lembaga-lembaga nonpemerintah yang berkecimpung pada persoalan-persoalan lingkungan hidup melaporkan adanya kenaikan satu derajad suhu di permukaan air laut hanya dalam rentang 50 tahun belakangan ini. Kenaikan ini menyebabkan peningkatan penguapan air permukaan (evaporasi) yang akan dibawa menjadi kondensat (awan-awan hujan) dan selanjutnya turun sebagai curah hujan.

Sederhananya, jika penguapan banyak maka curah hujan meningkat. Penguapan itu terjadi di darat dan di laut. Di samping itu, volume air laut juga meningkat karena pencairan sekian massa es di kutub-kutub bumi. Negara-negara yang dikelilingi lautan seperti Indonesia akan mengalami jumlah dan lamanya hujan yang semakin menjadi lebih besar.

Persoalan perubahan iklim ini turut diperberat dengan kerusakan hutan-hutan tropis asli kita. Fungsi hutan selain sebagai pembersih udara juga adalah penyangga penyerapan air limpasan hujan (run off). Ketika luas dan volume hutan berkurang, maka dipastikan limpasan air hujan akan mengalir semuanya ke sungai-sungai.

Karena tanpa penyangga hutan lagi, debit yang masuk ke badan sungai besar sekali. Debit air yang melebihi kapasitas penampang sungai inilah yang akhirnya kita kenal—sederhananya—sebagai banjir. Jadi “banjir kiriman” adalah peristilahan yang menyesatkan.

[{Bangunan-bangunan Air di Indonesia}]
Ini masih belum lagi menyertakan perilaku buruk masyarakat yang membuang semua kotoran dan sampah ke badan-badan sungai. Penampang sungai menjadi lebih kecil oleh penyumbatan dan pemampatan semua buangan itu.

Ketika air banjir datang, penampang yang diperkecil ini melewatkan air ke sisi-sisi sungai, menyapu permukiman atau areal pertanian yang terdapat di sekitarnya. Biasanya kita menyebut hal ini sebagai banjir bandang—sekali lagi sebagai peristilahan yang keliru. Padahal kita, manusia, adalah faktor utama dari gagalnya sungai bekerja mengalirkan banjir itu.

Bangunan-bangunan air yang kita kenal di sekitar kita adalah bendungan (waduk atau reservoir), bendung (dam), saluran-saluran, baik bagi guna irigasi atau guna pembuangan (drainase). Pada saat mau dibangun, kesemua infrastruktur ini membutuhkan rencana desain yang hati-hati. Bangunan-bangunan air memiliki masa pakai ekonomis yang diperhitungkan melebihi atau setidak-tidaknya menyamai biaya pembuatannya, kecuali jika terjadi bencana alam (gempa bumi, tanah longsor) atau kondisi-kondisi force majeure.

Dalam menentukan dimensi-dimensi suatu bangunan air, biasanya para ahli mendisain terlebih dulu periode banjir imajiner atau periode kembalinya suatu banjir, yang dalam istilah teknis disebut Kala Ulang (return period). Biasanya untuk bendungan dipakai angka 100-200 tahun, untuk bendung 10-50 tahun, dan untuk saluran-saluran biasanya 5-8 tahun.

Besar kala ulang ini akan membantu ditemukannya debit air ekstrim yang pernah terjadi, sehingga dengan didapatnya besaran debit itu, dengan mudah diketahuilah volume dan besaran penampang yang diinginkan.

Akan tetapi, proses pendesainan masih tergantung dengan rekaman data curah hujan dan iklim pada umumnya (meteorologi dan geofisika). Hal ini sangat bergantung dengan data-data empirik di pada masing-masing Daerah Aliran Sungai (DAS) di mana bangunan tersebut hendak didirikan. Selama ini sebagian besar formulasi yang dipergunakan para ahli pengairan menetapkan koefisien dan menentukan dimensi struktur adalah berdasar kondisi setempat (empirical conditions).

[{Mau Diapakan?]}
Berbeda dengan desain-desain bangunan sipil yang kering seperti gedung-gedung dan jalan-jalan tol, bangunan-bangunan air tidak memiliki satu formulasi tunggal, kaku dan bisa diterapkan secara universal. Artinya, perumusan-perumusan yang ada tidak bisa diterapkan secara sama dan serampangan di seluruh wilayah Indonesia.

Sebagai contoh, koefisien penyerapan air di antara tanah gambut (Kalimantan) dan tanah lempung (Jawa Barat) memiliki besaran yang berbeda. Belum lagi dengan jenis penampang dan materi struktur, pasti akan bermacam-macam pertimbangan dibutuhkan.

Coba ingatlah, mengapa ketika orang-orang Belanda dulu menjajah negeri kita, begitu banyak bangunan-bangunan air yang mereka dirikan? Bangunan-bangunan seperti Bendung Katulampa (Bogor), menjadi bukti bahwa orang-orang Eropa begitu terganggu dengan banjir, sehingga harus membuat suatu cara peringatan dini (early warning system) demi mengetahui kapan banjir datang. Tetapi kini kita tidak membuat hal yang sama. Apakah banjir sudah menjadi sahabat kita?

Masalah-masalah di seputar teknologi keairan dan pengairan harus diakui belum mendapatkan perhatian sepenuhnya dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan riset di universitas-universitas penting di Indonesia.

Demikian pula pemerintah, baik di pusat dan di daerah, tidak cukup memberikan arah yang jelas bagi pemanfaatan sumber daya air kita. Ketika dunia ramai membicarakan pemanfaatan teknologi nuklir, kita juga ikut latah ingin membangun reaktor-reaktor guna pembangkitan energi listrik.

Nuklir itu sangat bermanfaat, tetapi jika pengelolaannya tak hati-hati akan membawa bencana yang tak terperikan. Demikian pula karena cadangan batu bara yang besar, kita juga sudah memilih beralih pada sistem kelistrikan bertenaga uap, padahal polusi dari Pembangkit Tenaga Uap bukannya kecil.

Lalu jika demikian, sudahkah energi sumber daya air kita ditinggalkan? Bukankah membangun suatu fasilitas pembangkit tenaga air tidak saja untuk memperoleh energi listriknya, tetapi guna menangani persoalan banjir yang memakan korban jiwa dan materi begitu besar? Sudah lupakah, kita ini adalah negara terbesar ketiga terbanyak memiliki alur sungai di dunia.

Janganlah kita terbiasa menangani sesuatu persoalan dengan persoalan lainnya. Energi air kita luar biasa besarnya, dan pemanfaatannya hanya tinggal membutuhkan kehendak politik yang kuat dari pemerintah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar