“ Gempa
Vulkanik Krakatau “
Disusun oleh :
Aulia Azam ( 0903010018 )
PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2012
KATA PENGANTAR
ﻪﻴﮑﺮﺒﻮ ﷲا ﺔﻤﺤﺮﻮ مﮐﻳﻠﻋ مﻼﺳﻠا
Puji
syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas kebaikan-Nya penyusun dapat
menyelesaikan Tugas Teknik
Gempa ini dengan baik. Tugas tersebut disusun untuk memenuhi salah satu
syarat untuk memenuhi tugas pada mata kuliah
Teknik Gempa di Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik,
Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
Dalam
penyusunan Tugas ini,
penyusun mengucapkan terima kasih kepada:
1.
Allah
S.W.T
2.
Juanita, S.T. M.T., Ketua Kaprodi
yang telah memberikan saran, bimbingan, dan arahannya dalam penyusunan Tugas ini.
3.
Ir.
Amris Azizi yang telah banyak membimbing penyusun dan juga arahannya dalam menyusun Tugas ini.
4.
Orang tua, adik-adik penyusun yang senantiasa
menyalurkan semangat dan kasih penyusunng yang tiada henti kepada penyusun.
5.
Teman-teman angkatan 2009 atas kebersamaan dan dukungannya selama penyusun
menyelesaikan Tugas ini.
Penyusun menyadari bahwa tugas ini jauh dari
sempurna. Untuk itu penyusun mengharapkan kritik dan saran agar penyusun dapat
melakukan perbaikan terhadap tugas
Teknik Gempa yang disusun ini. Semoga tugas ini
dapat memberikan manfaat. Amiin.
ﻪﻴﮑﺮﺒﻮ ﷲا ﺔﻤﺤﺮﻮ مﮐﻳﻠﻋ مﻼﺳﻠا
Purwokerto, 30 Oktober 2012
Aulia Azam
DAFTAR ISI
Halaman judul ……………………………..………………………..………….……………1
Kata pengantar …………..………..…………..…………..…………………..…………….2
Daftar isi …………..………..…………..…………..…………..………………..…………..3
Bab 1
Pengertian Gempa Vulkanik …………..…………………..…………………………………4
Bab ii
Gempa Vulkanik
Krakatau……….…………………………………………….…………….8
Bab iv
Pengolahan Data
Dan Pembahasan…………………………………………………………..15
Bab v-----
Kesimpulan
…………..…………..………..…………..…………..……….……….……….19
Saran
…………..…………..………..…………..…………..…………..….…………….….19
Daftar Pustaka …………..…………..………..…………..…………..………..………...…20
Lampiran …………..…………..………..…………..…………..…………..…..…………..21
B A B I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
- Pengertian
Gempa Vulkanik
Sesuai dengan namanya gempa vulkanik atau gempa gunung api merupakan peristiwa gempa bumi yang disebabkan oleh tekanan magma dalam gunung berapi. Gempa ini dapat terjadi sebelum dan saat letusan gunung api. Getarannya kadang-kadang dapat dirasakan oleh manusia dan hewan sekitar gunung berapi itu berada. Perkiraaan meletusnya gunung berapi salah satunya ditandai dengan sering terjadinya getaran-getaran gempa vulkanik.
- Gempa vulkano-tektonik terjadi akibat perubahan tekanan pada batuan padat yang oleh injeksi atau tarikan magma (Chouet, 1993). Gempa jenis ini dapat menimbulkan tanah longsor dan retakan tanah yang luas. Gempa ini dapat terjadi karena batuan bergerak untuk mengisi ruang-ruang dimana magma sudah kosong. Gempa vulkano-tektonik bukan merupakan gejala gunung api akan meletus tapi dapat terjadi sewaktu-waktu.
- Gempa periode panjang ditimbulkan oleh injeksi magma ke dalam batuan di sekitarnya, sehingga timbul tekanan terhadap batuan yang pada akhirnya timbul gempa. Keaktifan gempa tipe ini menandakan bahwa gunung api akan meletus. Para ahli menggunakan seismograf untuk mencatat signal dari gempa-gempa yang disebut dengan tremor (getaran frekuensi tinggi ) (Chouet, 1993).
- Proses Terjadinya Gempa Vulkanik
Gempa bumi vulkanik terjadi karena adanya proses dinamik dari magma dan cairan yang bersifat hidrotermal (peka terhadap panas), sehingga dapat dipakai sebagai tanda-tanda awal peningkatan keaktifan gunung api. Proses fluida (cairan) dinamis yang terjadi karena adanya gradien suhu dan tekanan magma dapat menimbulkan gelombang gempa yang berasal dari proses resonansi retakan yang terisi cairan magma. Frekuensi gempa vulkanik yang dominan berkisar antara 1 sampai 5 Hz, selain frekuensi rendah lainnya.
Gempa vulkanik sebenarnya terdiri atas beberapa tipe seperti pada tabel di bawah ini :
Tipe Gempa
|
Keterangan
|
Frekuensi Tinggi |
Frekuensi dominant berkisar antara 5-15 Hz. Disebabkan oleh sesar atau
mendatar |
Frekuensi Rendah |
Frekuensi dominant antara 1-5 Hz. Peneyebab karena proses tekanan cairan
(fluida) |
Multifase |
Mengandung frekuensi rendah dan tinggi yang merupakan proses kombinasi |
Ledakan |
Disebabkan oleh letusan yang sifatnya explosive. Sinyal mengandung
gelombang udara juga gelombang tanah. |
Tremor |
Tremor adalah sinyal yang kontinyu dengan durasi menit sampai beberapa
hari. Frekuensi dominant 1-5 Hz |
Periode Sangat Panjang |
Periodenya dari 3 sampai 20 detik yang disertai dengan letusan gas
belerang |
Dangkal |
Proses bukan vulkanik yang dapat menimbulkan gelombang gempa. Contoh,
gerakan salju,. |
Karakteristik Gempa Vulkanik
Gempa vulkanik biasanya terjadi di daerah sekitar gunung api dan magnitudenya pada umumnya kecil rata rata kurang dari 5 Skala Richter. Gempa vulkanik dengan magnitude 5-6 sangat jarang terjadi. Kedalaman gempa vulkanik berkisar antara 0-40 km.
Alat Rekam Gempa Vulkanik
C. Hubungan
Gempa Vulkanik dan Gunung Api
Sebelum
terjadi letusan gunung api, kegiatan magma meningkat. Dengan peningkatan magma
menyebabkan tekanan terhadap batuan di sekitar kantong magma yang menimbulkan
getaran seismik. Dengan demikian bila gempa vulkanik meningkat dapat ditandai
bahwa gunung api akan meletus,walaupun hubungan ini tidak selalu terjadi.
Beberapa Letusan Gunung Api yang disertai Gempa
Beberapa gunung api yang meletus biasanya diikuti dengan getaran gempa, baik sebelum maupun sesaat terjadi letusan gunung api, misalnya: Gunung Merapi di Jawa Tengah, Gunung Semeru di Jawa Timur. Di luar Indonesia juga terjadi gempa sewaktu letusan ,misalnya, Gunung St. Helen di Amerika.
Gempa vulkanik yang terjadi karena peningkatan kegiatan gunung api ternyata tidak terlalu membahayakan karena kekuatannya tidak begitu besar. Selain itu gempa vulkanik dapat dijadikan salah satu tanda gejala suatu gunung api akan meletus walaupun tidak selalu terjadi hubungan seperti itu.
B A B II
Gempa Vulkank Krakatau
Gempa Vulkank Krakatau
Krakatau adalah
kepulauan vulkanik yang masih aktif dan berada di Selat Sunda
antara pulau Jawa
dan Sumatra.
Nama ini pernah disematkan pada satu puncak gunung berapi di sana (Gunung
Krakatau) yang sirna karena letusannya sendiri pada tanggal 26-27
Agustus 1883.
Letusan itu sangat dahsyat; awan panas dan tsunami
yang diakibatkannya menewaskan sekitar 36.000 jiwa. Sampai sebelum tanggal 26 Desember
2004, tsunami ini adalah
yang terdahsyat di kawasan Samudera
Hindia. Suara letusan itu terdengar sampai di Alice Springs,
Australia
dan Pulau Rodrigues dekat Afrika, 4.653 kilometer.
Daya ledaknya diperkirakan mencapai 30.000 kali bom atom
yang diledakkan di Hiroshima dan Nagasaki di akhir Perang Dunia
II.
Gambar : Selat Sunda
Letusan Krakatau
menyebabkan perubahan iklim global. Dunia sempat gelap selama dua setengah hari
akibat debu vulkanis yang menutupi atmosfer.
Matahari bersinar redup sampai setahun berikutnya. Hamburan debu tampak di
langit Norwegia
hingga New York.
Ledakan Krakatau ini
sebenarnya masih kalah dibandingkan dengan letusan Gunung Toba
dan Gunung
Tambora di Indonesia, Gunung Tanpo di Selandia
Baru dan Gunung Katmal di Alaska. Namun
gunung-gunung tersebut meletus jauh pada masa ketika populasi manusia
masih sangat sedikit. Sementara ketika Gunung Krakatau meletus, populasi
manusia sudah cukup padat, sains dan teknologi telah berkembang, telegraf
sudah ditemukan, dan kabel bawah laut sudah dipasang. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa saat itu teknologi informasi sedang tumbuh dan berkembang
pesat.
Tercatat bahwa letusan
Gunung Krakatau adalah bencana besar pertama di dunia setelah penemuan telegraf
bawah laut. Kemajuan tersebut, sayangnya belum diimbangi dengan kemajuan di
bidang geologi. Para ahli
geologi saat itu bahkan belum mampu memberikan penjelasan mengenai letusan
tersebut.
Gunung Krakatau Purba
Melihat kawasan Gunung Krakatau di Selat
Sunda, para ahli memperkirakan bahwa pada masa purba terdapat gunung yang
sangat besar di Selat Sunda yang akhirnya meletus dahsyat yang menyisakan
sebuah kaldera (kawah besar) yang disebut Gunung Krakatau Purba, yang merupakan
induk dari Gunung Krakatau yang meletus pada 1883. Gunung ini disusun dari
bebatuan andesitik.
Catatan mengenai letusan Krakatau Purba
yang diambil dari sebuah teks Jawa Kuno yang berjudul Pustaka Raja Parwa yang diperkirakan
berasal dari tahun 416 Masehi. Isinya antara lain menyatakan:
“
|
Ada suara guntur yang menggelegar berasal dari Gunung
Batuwara. Ada pula goncangan bumi yang menakutkan, kegelapan total, petir dan
kilat. Kemudian datanglah badai angin dan hujan yang mengerikan dan seluruh
badai menggelapkan seluruh dunia. Sebuah banjir besar datang dari Gunung
Batuwara dan mengalir ke timur menuju Gunung Kamula.... Ketika air
menenggelamkannya, pulau Jawa terpisah menjadi dua, menciptakan pulau Sumatera
|
”
|
Pakar geologi Berend George Escher dan beberapa
ahli lainnya berpendapat bahwa kejadian alam yang diceritakan berasal dari
Gunung Krakatau Purba, yang dalam teks tersebut disebut Gunung Batuwara.
Menurut buku Pustaka Raja Parwa tersebut, tinggi
Krakatau Purba ini mencapai 2.000 meter di atas permukaan laut, dan lingkaran
pantainya mencapai 11 kilometer.
Akibat ledakan yang hebat
itu, tiga perempat tubuh Krakatau Purba hancur menyisakan kaldera (kawah besar)
di Selat Sunda. Sisi-sisi atau tepi kawahnya dikenal sebagai Pulau Rakata, Pulau Panjang dan Pulau Sertung,
dalam catatan lain disebut sebagai Pulau Rakata, Pulau Rakata Kecil dan Pulau
Sertung. Letusan gunung ini disinyalir bertanggung- jawab atas terjadinya abad
kegelapan di muka bumi. Penyakit sampar bubonic terjadi karena temperatur
mendingin. Sampar ini secara signifikan mengurangi jumlah penduduk di muka
bumi.
Letusan ini juga dianggap
turut andil atas berakhirnya masa kejayaan Persia purba, transmutasi Kerajaan
Romawi ke Kerajaan Byzantium, berakhirnya peradaban Arabia Selatan, punahnya
kota besar Maya,
Tikal
dan jatuhnya peradaban Nazca di Amerika
Selatan yang penuh teka-teki. Ledakan Krakatau Purba diperkirakan
berlangsung selama 10 hari dengan perkiraan kecepatan muntahan massa mencapai 1
juta ton per detik. Ledakan tersebut telah membentuk perisai atmosfer setebal
20-150 meter, menurunkan temperatur sebesar 5-10 derajat selama 10-20 tahun.
Munculnya Gunung Krakatau
Perkembangan
Gunung Krakatau
Pulau Rakata, yang
merupakan satu dari tiga pulau sisa Gunung Krakatau Purba kemudian tumbuh
sesuai dengan dorongan vulkanik dari dalam perut bumi yang dikenal sebagai
Gunung Krakatau (atau Gunung Rakata) yang terbuat dari batuan basaltik. Kemudian, dua
gunung api muncul dari tengah kawah, bernama Gunung Danan
dan Gunung Perbuwatan yang kemudian menyatu dengan
Gunung Rakata yang muncul terlebih dahulu. Persatuan ketiga gunung api inilah
yang disebut Gunung Krakatau.
Gunung Krakatau pernah
meletus pada tahun 1680 menghasilkan lava andesitik asam. Lalu
pada tahun 1880, Gunung Perbuwatan aktif mengeluarkan lava meskipun tidak
meletus. Setelah masa itu, tidak ada lagi aktivitas vulkanis di Krakatau hingga
20 Mei 1883. Pada hari itu, setelah 200 tahun tertidur, terjadi ledakan kecil
pada Gunung Krakatau. Itulah tanda-tanda awal bakal terjadinya letusan dahsyat
di Selat Sunda.
Ledakan kecil ini kemudian disusul dengan letusan-letusan kecil yang puncaknya
terjadi pada 26-27 Agustus 1883.
Erupsi 1883
Pada hari Senin, 27 Agustus
1883, tepat jam 10.20,
terjadi ledakan pada gunung tersebut. Menurut Simon Winchester, ahli geologi
lulusan Universitas Oxford Inggris
yang juga penulis National Geographic mengatakan bahwa
ledakan itu adalah yang paling besar, suara paling keras dan peristiwa vulkanik
yang paling meluluhlantakkan dalam sejarah manusia modern. Suara letusannya
terdengar sampai 4.600 km dari pusat letusan dan bahkan dapat didengar oleh 1/8
penduduk bumi saat itu.
Menurut para peneliti di University of
North Dakota, ledakan Krakatau bersama ledakan Tambora
(1815) mencatatkan nilai Volcanic Explosivity Index (VEI) terbesar
dalam sejarah modern. The Guiness Book
of Records mencatat ledakan Krakatau sebagai ledakan yang paling
hebat yang terekam dalam sejarah.
Ledakan Krakatau telah
melemparkan batu-batu apung dan abu vulkanik dengan volume 18 kilometer kubik.
Semburan debu vulkanisnya mencapai 80 km. Benda-benda keras yang berhamburan ke
udara itu jatuh di dataran pulau Jawa dan Sumatera bahkan sampai ke Sri Lanka,
India,
Pakistan,
Australia
dan Selandia Baru.
Letusan itu menghancurkan
Gunung Danan,
Gunung Perbuwatan serta sebagian Gunung Rakata dimana
setengah kerucutnya hilang, membuat cekungan selebar 7 km dan sedalam 250
meter. Gelombang laut naik setinggi 40 meter menghancurkan desa-desa dan apa
saja yang berada di pesisir pantai. Tsunami
ini timbul bukan hanya karena letusan tetapi juga longsoran bawah laut.
Tercatat jumlah korban
yang tewas mencapai 36.417 orang berasal dari 295 kampung kawasan pantai mulai
dari Merak
(Serang)
hingga Cilamaya
di Karawang,
pantai barat Banten
hingga Tanjung Layar di Pulau Panaitan (Ujung Kulon
serta Sumatera Bagian selatan. Di Ujungkulon, air bah masuk sampai 15 km ke
arah barat. Keesokan harinya sampai beberapa hari kemudian, penduduk Jakarta
dan Lampung
pedalaman tidak lagi melihat matahari. Gelombang Tsunami yang ditimbulkan
bahkan merambat hingga ke pantai Hawaii, pantai barat Amerika
Tengah dan Semenanjung Arab yang jauhnya 7 ribu kilometer.
Anak Krakatau
Anak Krakatau, dua tahun sejak awal terbentuknya. Foto
diambil 12 atau 13 Mei 1929, koleksi Tropenmuseum.
Mulai
pada tahun 1927 atau kurang lebih 40 tahun setelah meletusnya Gunung Krakatau,
muncul gunung api yang dikenal sebagai Anak Krakatau
dari kawasan kaldera purba tersebut yang masih aktif dan tetap bertambah
tingginya. Kecepatan pertumbuhan tingginya sekitar 20 inci per bulan. Setiap
tahun ia menjadi lebih tinggi sekitar 20 kaki dan lebih lebar 40 kaki. Catatan
lain menyebutkan penambahan tinggi sekitar 4 cm per tahun dan jika dihitung,
maka dalam waktu 25 tahun penambahan tinggi anak Rakata mencapai 7.500 inci
atau 500 kaki lebih tinggi dari 25 tahun sebelumnya. Penyebab tingginya gunung
itu disebabkan oleh material yang keluar dari perut gunung baru itu. Saat ini
ketinggian Anak Krakatau mencapai sekitar 230 meter di atas permukaan laut,
sementara Gunung Krakatau sebelumnya memiliki tinggi 813 meter dari permukaan
laut.
Menurut
Simon Winchester, sekalipun apa yang terjadi dalam kehidupan Krakatau yang dulu
sangat menakutkan, realita-realita geologi, seismik serta tektonik di Jawa dan
Sumatera yang aneh akan memastikan bahwa apa yang dulu terjadi pada suatu
ketika akan terjadi kembali. Tak ada yang tahu pasti kapan Anak Krakatau akan
meletus. Beberapa ahli geologi memprediksi letusan ini akan terjadi antara 2015-2083.
Namun pengaruh dari gempa di dasar Samudera Hindia pada 26 Desember 2004 juga
tidak bisa diabaikan.
Anak Krakatau, Februari 2008
Menurut Profesor
Ueda Nakayama salah
seorang ahli gunung api berkebangsaan Jepang, Anak
Krakatau masih relatif aman meski aktif dan sering ada letusan kecil, hanya ada
saat-saat tertentu para turis dilarang mendekati kawasan ini karena bahaya lava
pijar yang dimuntahkan gunung api ini. Para pakar lain menyatakan tidak ada
teori yang masuk akal tentang Anak Krakatau yang akan kembali meletus. Kalaupun
ada minimal 3 abad lagi atau sesudah 2325 M. Namun yang jelas, angka korban
yang ditimbulkan lebih dahsyat dari letusan sebelumnya. Anak Krakatau saat ini
secara umum oleh masyarakat lebih dikenal dengan sebutan "Gunung
Krakatau" juga, meskipun sesungguhnya adalah gunung baru yang tumbuh pasca
letusan sebelumnya.
Letusan
gunung berapi Krakatau 1883 telah menghasilkan tsunami destruktif lebih tinggi
dari 40 m pada pantai di Indonesia dan lebih dari 36 000 orang meninggal.
Osilasi permukaan laut akibat letusan tersebut dilaporkan memiliki jarak yang
signifikan di Samudera India, Atlantik dan Samudera Pasifik. Banyak bukti
manifestasi dari Tsunami yang diakibatkan oleh letusan gunung Krakatau telah
menjadi bahan diskusi intensif, dan beberapa diantaranya tidak terkait langsung
dengan penjalaran gelombang tsunami yang diakibatkan oleh letusan gunung
Krakatau.
Penyebaran
gelombang tsunami yang dihasilkan oleh letusan gunung berapi Krakatau ke
seluruh dunia dipelajari dengan melakukan simulasi numerik menggunakan dua
model konvensional yaitu metode ray tracing dan model linear shallow-water 2D.
Hasil simulasi numerik telah dibandingkan dengan data yang tersedia tentang
tsunami akibat letusan gunung Krakatau tersebut Sumber : B. H. Choi, E.
Pelinovsky, K. O. Kim and J. S. Lee Natural Hazards and Earth System Sciences
(2003) 3: 321–332 c European Geosciences Union 2003
BAB III
Penutup
Letusan Krakatau (1883) “Fenomena Warna di
Langit Dunia”
Selama
lebih dari 3 tahun lamanya aerosol volkanik yang terjebak di stratosfer
menyebabkan atmosfer berubah menghasilkan perubahan warna matahari
terbenam dan terbit, efek warna kebiruan-kehijauan dan fenomena halo pada
matahari dan bulan di seluruh penjuru dunia.
Letusan
Krakatau pada 1883 berlangsung lebih dari sekali. Dimulai dari gempa volkanik
yang berlangsung pada minggu pertama bulan Mei 1883 yang terasa di Jawa Barat.
20 Mei 1883 pukul 10.30 adalah dimulainya letusan Krakatau pertama kali yang
disaksikan oleh kapal perang Jerman Elizabeth yang melintas di selat Sunda.
Tercatat bahwa letusan tersebut menghasilkan awan debu volkanik hingga
ketinggian 11 km dan terasa hingga Batavia (160 km dari Krakatau) dan pada
pukul 14.00 di sekitar selat Sunda pemandangan menjadi gelap akibat letusan
tersebut. Gempa volkanik dan letusan-letusan kecil terus terjadi pada bulan Mei
dan Juni di tahun yang sama.
Pada
tanggal 26 Agustus 1883 Krakatau kembali meletus dan memuntahkan material
piroklastik ke lautan di sekitarnya memicu terjadinya tsunami. Gelombang
tsunami menyapu teluk Lampung, Teluk Betong, Caringin, Anyer dan Merak. Kapal Charles
Bal berbendera Inggris yang melintas di Anyer pada tanggal 27 Agustus pagi
melaporkan bahwa kondisi yang mengenaskan dengan rumah-rumah penduduk hancur,
pohon-pohon tercabut dari akarnya dan mayat-mayat bergelimpangan akibat tersapu
gelombang tsunami.
Pada
tanggal 27 Agustus 1883 seri letusan Krakatau kembali terjadi. Tercatat
setidaknya terjadi 4 kali letusan besar yang dimulai pada pukul 5.30 hingga
10.15 dan menghancurkan pulau Krakatau tersebut. Suara letusan terdengar hingga
Australia, Filipina, Sri Lanka dan Pulau Rodriguez yang jaraknya 4.700 km dari Krakatau.
Total debu volkanik dan piroklastik yang dimuntahkan oleh Krakatau sekitar 30
km3 menghasilkan indeks letusan (Volcanic Explosity Index) pada angka
6 yang berarti Sangat Besar. 2/3 dari pulau Krakatau runtuh dan segera
setelahnya gelombang tsunami kembali terjadi menyapu sejauh 4 km di pantai Jawa
dan Sumatera. Ketinggian gelombang tsunami mencapai 15 m – 40 m menghancurkan
165 kampung dan merusakkan 135 lainnya.
Tidak
ada yang tahu secara pasti jumlah korban jiwa akibat letusan Krakatau baik
secara langsung maupun tidak langsung. Data yang dikeluarkan oleh pihak Belanda
mencatat 34.417 orang tewas, 90% dari korban tersebut meninggal akibat tsunami
dan 10% lainnya akibat letusan langsung dari Krakatau. Gelombang tsunami juga
meratakan semua sumber penghidupan masyarakat yaitu perkebunan dan persawahan.
Letusan
Krakatau memuntahkan batuapung yang sangat melimpah hingga memenuhi selat Sunda
dan Samudera Hindia. Empat minggu setelah letusan Krakatau, kapal-kapal yang
melintas selat sunda dan Samudera Hindia selalu menemui kumpulan batuapung
menghampar di lautan dan terkadang menemui mayat manusia atau hewan di atasnya.
Debu
dari letusan Krakatau menyebar hingga 2.500 km terbawa angin segera setelah
letusan terjadi. Partikel gas dan sulfur dioksida bergabung dengan hidrogen di
stratosfer menghasilkan hujan asam sulfur. Aerosol yang dihasilkan juga
menghalangi sinar matahari dan menurunkan suhu di 70% belahan dunia walaupun
tidak seluas dari letusan Tambora (1815). Setidaknya 3 tahun lamanya langit
dunia membiaskan warna yang tidak biasa dan adanya efek halo pada matahari dan
bulan.
Empat
puluh tahun setelah erupsi pada 29 Desember 1927, sejumlah nelayan terkejut
dengan dengan kehadiran asap dan semburan gas di tengah laut pada lokasi erupsi
Krakatau terdahulu. Seiring waktu, fenomena semburan asap dan gas itu
berkembang menjadi sebuah gunungapi dengan ketinggian saati ini tercatat 180 m
dan luas area 10 km2 yang diberinama Anak Krakatau. Anak Krakatau dinobatkan
sebagai laboratorium alam menyediakan proses regenerasi biologi secara natural
dari kepunahan Krakatau terdahulu.
Sumber tulisan : Volcanoes in Human History
(2002)
Sumber gambar :
http://fohn.net/biggest-tsunami/1883_krakatau.jpg
Letusan
Krakatau Tertulis di Kitab Ronggowarsito: Kitab Raja Purwa
“Seluruh dunia terguncang hebat, dan guntur menggelegar,
diikuti hujan lebat dan badai, tetapi air hujan itu bukannya mematikan ledakan
api ‘Gunung Kapi’ melainkan semakin mengobarkannya, suaranya mengerikan,
akhirnya ‘Gunung Kapi’ dengan suara dahsyat meledak berkeping-keping dan
tenggelam ke bagian terdalam dari bumi”
*
Demikian
sepenggal isi Kitab Raja Purwa yang dibuat pujangga Jawa dari
Kesultanan Surakarta, Ronggowarsito. Salinan kitab itu masih tersimpan
rapi di Perpustakaan Nasional, Jakarta.
Kitab itu diterbitkan
tahun 1869 atau 14 tahun sebelum letusan Krakatau (Inggris: Krakatoa volcanoes)
pada 27 Agustus 1883.
Penyebutan
“Gunung Kapi” tak banyak dikenal pada periode itu sehingga tulisan
Ronggowarsito membingungkan banyak kalangan. Namun, deskripsi berikutnya dalam
buku itu semakin mirip dengan peristiwa tsunami saat Krakatau meletus pada 27
Agustus 1883:
“Air laut naik dan membanjiri daratan, negeri di timur
Gunung Batuwara sampai Gunung Raja Basa dibanjiri oleh air laut; penduduk
bagian utara negeri Sunda sampai Gunung Raja Basa tenggelam dan hanyut beserta
semua harta milik mereka.”
Penggambaran
Ronggowarsito ini mengusik kesadaran Gegar Prasetya, ahli tsunami dan kelautan.
“Apakah tulisan Ronggowarsito ini semacam ramalan atas peristiwa akan datang (letusan
Krakatau 1883) atau dia menggambarkan peristiwa letusan Krakatau di masa
silam?” kata Gegar.
Mantan peneliti
di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) ini menemukan naskah
Ronggowarsito saat melakukan penelitian di perpustakaan Universitas Leiden
(Belanda) untuk menyelesaikan program doktoral.
“Saya membaca buku Ronggowarsito
yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
Padahal, aslinya beraksara dan
berbahasa Jawa. Sebagai keturunan Jawa, hal ini sebenarnya memalukan,” kata
dia.
Dari catatan Ronggowarsito yang
penuh misteri ini, akhirnya Gegar berkeyakinan bahwa Krakatau pernah meletus
sebelum tahun 1883.
Apalagi di buku edisi kedua yang
diterbitkan pada 1885 atau dua tahun setelah letusan Krakatau, Ronggowarsito
menulis penanda tahun dan deskripsi lokasi Gunung Kapi yang bisa dipastikan
adalah Krakatau,
” …di tahun Saka 338 (416
Masehi) sebuah bunyi menggelegar terdengar dari Gunung Batuwara yang dijawab
dengan suara serupa yang datang dari Gunung Kapi yang terletak di sebelah barat
Banten baru…”
Peta Terakhir Jelang Letusan Dahsyat Krakatau
Setelah 200
tahun tertidur, pada 19 Mei 1883, Batavia (Jakarta) dikejutkan dengan dentuman
keras, melebihi bunyi meriam terkeras. Kaca-kaca jendela bergetar hebat bahkan
jam dinding berhenti berdetak karena sapuan gelombang kejut. Abu dan batu apung
berjatuhan di Selat Sunda, menggiring orang untuk melongok ke puncak Perbuatan,
salah satu puncak di pulau gunung api Krakatau, yang tiba-tiba meletus.
Namun, setelah
kegaduhan itu, Krakatau kembali tenang. Pulau dengan tiga kawah itu tidur
tenang, dikitari laut biru yang dalam. Setelah hari keempat berlalu dengan
damai, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Frederik s’Jacob menyimpulkan saat yang
bagus untuk melihat Krakatau dari dekat, melihat apa yang terjadi, dan yang
lebih penting lagi: untuk menyimpulkan apakah kejadian serupa bisa terulang
kembali. Dia mengutus insinyur pertambangan, AL Schuurman, pergi ke sana.
Berbeda dengan
kekhawatiran s’Jacob, perusahaan pelayaran The Netherlands Indies Steamship
Company melihat Krakatau sebagai potensi besar untuk mendatangkan turis
sehingga dengan sigap menyodorkan kapal wisata, Gouverneur-Generaal Loudon.
“Pada Sabtu, 26
Mei, perwakilan perusahaan menempelkan pengumuman di klub Harmonie dan
Concordia, mengiklankan ‘wisata menyenangkan’ dan mengumumkan harga yang
kompetitif sebesar hanya 25 guilder,” tulis Winchester.
Pada Minggu
sore, kapal uap berbobot mati 1.239 ton itu terisi penuh dengan 86 penumpang
dan Schuurman berada di antara mereka sebagai wakil dari pemerintah. Setelah
berlayar semalaman, kapten Loudon, TH Lindeman, membuang sauh jauh dari pulau
itu. Dia meminjamkan perahu kepada Schuurman. Ditemani beberapa orang yang
berani dan penuh rasa ingin tahu, Schuurman mendekati pulau dengan susah payah.
“Dengan
mengikuti jejak orang yang paling berani atau mungkin yang paling tolol, kami
mendaki lebih jauh tanpa halangan apa pun selain abu yang ambles di bawah kaki
kami. Jalannya berada di atas bukit dari mana kami bisa melihat beberapa pokok
pohon yang patah mencuat dari lapisan abu, beberapa tonggak menunjukkan bahwa
cabang-cabangnya direnggut dengan paksa,” tulis Schuurman.
Kelompok kecil
ini terus merangsek naik dengan nekad hingga mendekati dasar kawah, yang
menurut Schuurman tertutup oleh “kerak buram berkilat-kilat,” yang
kadang-kadang membara merah dan mengeluarkan ”gulungan asap dalam
gelembung-gelembung raksasa yang banyak tetapi rapat”. Schuurman akhirnya
kembali ke Loudon setelah Lindeman berkali-kali membunyikan klakson.
Dua
bulan kemudian Krakatau berangsur dilupakan. Hingga pada 11 Agustus, kapten
angkatan darat Belanda, HJG Ferzenaar, diperintahkan menyurvei Krakatau untuk
kepentingan topografi militer. Dia melewatkan dua hari di sana dan mencatat ada
14 lubang semburan di atas pulau itu. Ia membuat peta pulau itu secara detial,
termasuk titik-titik berwarna merah yang menjadi pusat semburan.
Dia
memberi catatan bahwa survei yang lebih rinci “harus menunggu sampai nanti,
sebab pengukuran di sana masih sangat berbahaya; setidaknya, saya tidak akan
suka menerima tanggung jawab mengirimkan seorang surveyor.”
Namun,
Krakatau tidak pernah bisa dipetakan lagi. Pada 27 Agustus 1883, pulau ini
meledak dan hancur berkeping-keping. Peta Pulau Krakatau yang dibuat Ferzenaar
adalah yang terakhir yang pernah dibuat.
Ledakan
berkekuatan 21.574 kali bom atom (De Neve, 1984) itu tak hanya menghancurkan
tubuh Pulau Krakatau. Kehancuran juga melanda pesisir Banten dan Lampung.
Gelombang awan panas dan tsunami melanda, menghancurkan desa-desa di pesisir
Banten dan Lampung, serta menewaskan lebih dari 36.000 jiwa.
Kengerian
itu digambarkan oleh Muhammad Saleh dalam Syair Lampung Karam, satu-satunya
laporan pandangan mata yang dibuat pribumi tentang letusan Krakatau. Muhammad
Saleh lewat bait syairnya menggambarkan di atas langit terlihat seperti bunga
api beterbangan seperti bahala yang diturunkan Tuhan dan membuat hati takut
bukan kepalang. Kegelapan menyelimuti, guncangan gempa tiada henti, dan datang
gelombang menghanyutkan. “Besar gelombang tidak terperi, lalulah masuk ke dalam
negeri, berlarian orang ke sana kemari…,” tulis Muhammad Saleh.
Petaka
Krakatau itu menambah derita rakyat yang beratus tahun disengsarakan ekonomi
kolonial dan priyayi pribumi yang mengisap. “Tak disangsikan lagi bahwa wabah
penyakit ternak dan wabah demam, serta kelaparan yang diakibatkannya, dan
letusan Gunung Krakatau yang menyusul, telah menjadi pukulan hebat bagi
penduduk,” tulis Sartono Kartodirdjo, dalam buku Pemberontakan Petani di Banten
1888.
Menurut
sejarawan terkemuka ini, “… letusan Gunung Krakatau menyebabkan luas tanah yang
tidak dapat digarap menjadi lebih besar lagi, terutama di bagian barat afdeling
Caringin dan Anyer.” Kondisi kesengsaraan yang kemudian bertemu dengan gerakan
sosial-keagamaan ini menjadi pemantik kesadaran rakyat untuk melawan Belanda,
yang dianggap sebagai pendosa dan biang dari segala kesengsaraan itu.
Dua
bulan setelah letusan Krakatau, kerusuhan pecah di Serang. Seorang serdadu
Belanda ditikam, pelakunya kabur di tengah keramaian. Kejadian berulang sebulan
kemudian. Serentetan perlawanan terhadap Belanda terus dilakukan hingga pada
Juli 1888 muncullah pemberontakan petani Banten.
Penemuan Telegram
Kabarkan Dahsyatnya Letusan Krakatau
Tsunami
yang menyebar luas ke berbagai penjuru dunia pada 27 Agustus 1883 juga
terdeteksi dengan cepat bahwa sumbernya Krakatau. Sepanjang tanggal 27 Agustus
dan sehari setelahnya, telegram dari Batavia (Jakarta), 160 km dari Krakatau
yang berkali-kali dikirim ke Singapura. Dari sana kabar kemudian menyebar jauh
hingga ke Inggris.
Bunyi telegram menyebutkan
kepanikan suasana di Jakarta waktu itu. “Batavia saat ini hampir gelap gulita
lampu gas menyala sepanjang malam tak dapat berkomunikasi dengan Anjer (Anyer),
beberapa jembatan hancur, sungai-sungai meluap karena gelombang laut yang
menuju daratan,” demikian isi telegram yang dikirim pada sore hari, 27 Agustus.
Kemudian,
pukul 11.00 pada 28 Agustus, sebuah telegram kembali diterima di Singapura,
“Anjer, Tjeringin, dan Telok Beting hancur lebur.” Setengah jam kemudian kabar
buruk kembali dikirim, “Mercusuar di Selat Sunda menghilang.”
Berikutnya,
telegram itu mengirim informasi lebih detail tentang gelombang laut setinggi 40
meter yang menghanyutkan terumbu karang seberat 600 ton ke daratan Anyer.
Disebutkan, sedikitnya 36.417 orang tewas, sebagian besar karena gelombang
tsunami, dan 165 desa hancur.
Berita
yang cepat menyebar itu tak membuat warga Australia bagian selatan, Perth,
Colombo, dan Rodriguez (sejauh 4.800 km), harus lama bertanya-tanya tentang
suara gelegar letusan yang terdengar dari rumah mereka pada 27 Agustus.
Demikian halnya warga dunia menjadi cepat tahu bahwa tsunami yang melanda
pantai Sri Lanka dan perubahan tinggi permukaan air laut di Selandia Baru,
Alaska dan Saluran Inggris pada hari itu adalah dampak Krakatau.
Para
meteorolog dunia juga dengan cepat menghubungkan bahwa cuaca dingin yang
terjadi sepanjang tahun 1883 hingga paruh pertama 1884 adalah berkat letusan
Krakatau.
Awan dari abu vulkanik naik ke
atas mencapai ketinggian 50-80 km dan mengitari bumi dengan kecepatan jet
beberapa kali.
Suhu
udara menjadi lebih dingin akibat sinar matahari terhalang abu vulkanik lebih
dari satu tahun lamanya di beberapa wilayah bumi.
Volume
material yang dikeluarkan diperkirakan sekitar 18-21 kilometer kubik yang
terdiri dari 9-10 kilometer kubik batu-batu berat.
Letusan
Krakatau merupakan bencana besar pertama di dunia yang terjadi setelah jaringan
kabel telegraf menyambung di seluruh dunia. Dua belas tahun sejak Samuel Morse
pada 24 Mei 1844 mengirimkan pesan pertama dari gedung Mahkamah Agung di
Washington kepada koleganya Alfred Vail, di Baltimore, telegram sudah disambung
ke istana besar di Buitenzorg ke kantor-kantor di Batavia. Jawa kemudian
terhubung ke dunia internasional sejak 1859, melalui Singapura, sehingga berita
letusan Krakatau bisa dengan cepat menyebar luas.